Pemilu dan Pilpres 2024: Pertaruhan Nilai, Transaksi Politik, Masa depan Warga, Oleh Imam Ardhianto
Gong Aspirasi Rakyat.Com - Arena pemilu adalah tempat pertarungan untuk mendefinisikan apa yang bernilai bagi kehidupan bernegara kita.
Pemilu tidak pernah hanya
sekadar perebutan kuasa ekonomi politik, tetapi pemilu adalah arena pertaruhan
nilai apa yang kita pilih sebagai warga.
Jika Anda masih ingat,
”orang baik” adalah kata yang mendominasi dua pemilihan presiden dan wakil
presiden (pilpres) terakhir kita. Sejak dua periode pilpres terakhir, nilai
selalu membayangi pilihan politis kita. Tetapi, ke mana istilah tersebut
sekarang?
Setelah orang yang
diasosiasikan dengan istilah tersebut sebagai presiden telah ”cawe-cawe” dalam
pemilu, istilah itu seperti tenggelam oleh waktu.
KE
MANA PERGINYA ORANG BAIK?
Tampaknya, arah percakapan
soal moral dan nilai dari capres kita pada putaran ini mulai bergeser. ”Baik”
versus ”jahat” tidak lagi mendominasi. Munculnya tiga calon presiden (capres)
di tahap awal membuat debat soal nilai apa yang diusung tiap-tiap calon menjadi
melebar ke berbagai arah dalam pemilihan presiden kali ini.
Sebetulnya politik Indonesia
tak terlalu tepat disebutkan sekadar medan transaksional. Arena pemilu adalah
tempat pertarungan untuk mendefinisikan apa yang bernilai bagi kehidupan
bernegara kita. Dengan kerangka ini, politik bukanlah sekadar pertarungan
antarcapres dalam memperebutkan sumber daya atau meraih mandat konstituen.
Akan tetapi, politik juga
pertarungan mereka dalam mengatur panggung dan menggiring warga untuk memilih
nilai apa yang diprioritaskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
relevan dalam kondisi sosial-politik terkini.
Arena pemilu adalah tempat
pertarungan untuk mendefinisikan apa yang bernilai bagi kehidupan bernegara
kita.
Pilihan politik dalam pemilu
memang benar selalu berurusan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis dari
pemilih. Tentu kita semua tahu, politik uang (money politics), penggalangan
massa pemilih dengan iming-iming uang, dan pemanfaatan bantuan dana negara
sebagai materi kampanye memiliki peran dalam pengambilan keputusan pemilih
dalam memilih siapa presiden mereka di bilik suara.
Meski demikian, perilaku
pemilih tidak akan sepenuhnya ditentukan oleh faktor tersebut. Warga boleh
miskin, tetapi tidak semua yang miskin itu bodoh dalam memahami politik. Tidak
semua dalam politik ditentukan oleh nilai ekonomi transaksional. Termasuk
memilih di bilik suara sesudah menerima uang bantuan sosial (bansos).
PILPRES
SEBAGAI RITUAL POLITIK
Pilpres adalah arena
kompetisi politik rutin dalam menawarkan visi programatik capres, yang pada
hakikatnya bicara apa masalah yang dihadapi oleh warga saat ini dan nilai apa
yang dianggap penting oleh warga untuk mengatasinya.
Dalam kajian antropologi, itulah
yang disebut ritual, yaitu seperangkat kepercayaan dan aktivitas dalam suatu
arena sosial tempat masyarakat menjelaskan dirinya dalam drama simbolik,
terutama menjelaskan apa yang dianggap luhur dan harus diperjuangkan dalam
hidup dengan mengontraskannya pada kenyataan politik sehari-sehari.
Dalam literatur disiplin
ini, ritual adalah vehicle of social process, tempat konflik dan
pertarungan dibawa ke arena simbolik. Ritual pemilu kali ini kita diminta
berpartisipasi dalam memeringkatkan ”keadilan”, ”kedaulatan-patriotisme-riang
gembira”, atau ”keunggulan-kemajuan”. Berbagai segmen masyarakat akan memiliki
afinitas yang berbeda-beda mengenai nilai tersebut, tetapi pada momen pemilu
kita akan diminta memilih.
Meskipun kita tahu bahwa
semua nilai yang dianggap baik harus ada dalam kehidupan kita, sering kali kita
diharuskan, meski tidak selalu, memilih salah satu yang kita putuskan sebagai
nilai yang paripurna (paramount values). Itulah yang akan kita hadapi beberapa
pekan ke depan menjelang pemilihan presiden.
CITRA
CAPRES SEBAGAI SURI TELADAN
Akan tetapi, bagaimanakah
masyarakat Indonesia memilih nilai tersebut?
Satu pendapat umum dalam
disiplin antropologi menyebutkan bahwa nilai, yang selalu kita lihat abstrak
dan mengawang dalam kehidupan masyarakat, haruslah konkret dan senyata-nyatanya
ketika dibicarakan dan diamati.
Kajian antropologi terkini,
terutama dari Prof Joel Robbins dari University of Cambridge, yang memfokuskan
pada ”studi antropologi nilai” menyebutkan, kita bisa mengidentifikasi nilai
dari suatu masyarakat dengan mencari tahu bagaimana satu masyarakat membangun
sosok suri teladan (moral exemplar) atau sebaliknya contoh paling buruk dari
manusia dalam ritual-ritual penting.
Dalam kajian antropologi
klasik, sosok-sosok ini disebut moral exemplar yang dapat dikenali
satu komunitas melalui kisah-kisah suci asal muasal manusia (value-laden story).
Dalam sejarah bangsa, kita mengenal sosok-sosok pendiri bangsa dari berbagai
latar belakang.
Dalam perjalanan
pemerintahan, kita mengenal Jenderal Hoegeng di kepolisian yang menjadi
patokan moral exemplar para aparat yang jujur serta merakyat atau
laku kehidupan sederhana dan rendah hati dari Mohammad Hatta.
Pemilu dalam hal ini adalah
arena ritual tempat nilai-nilai kita dibicarakan kembali dan dikontestasikan
dengan membangun moral exemplar tersebut.
Pemilu dalam hal ini adalah
arena ritual tempat nilai-nilai kita dibicarakan kembali dan dikontestasikan
dengan membangun moral exemplar tersebut.
Meneropong bagaimana
kampanye baik yang dimediasi oleh platform teknologi media ataupun
peristiwa-peristiwa pengumpulan massa untuk menawarkan capres jagoan tiap-tiap
tim adalah cara kita bisa memahami bagaimana kontestasi nilai ini dibicarakan melalui
sosok-sosok capres. Sebagaimana terjadi secara komparatif di tempat lain,
seperti di Amerika dan Eropa, ritual kampanye sering kali mengungkapkan citra
presiden atau lawan kompetisi dalam narasi-narasi yang dibangun.
Narasi pembicaraan publik
dibangun oleh tim kampanye dan presiden dengan membangun citra moral pilihan
presiden atau sebaliknya. Di tengah derasnya arus politik populisme, konstruksi
citra tokoh politik menempatkan contoh politisi jahat yang bisa mengancam
eksistensi satu kelompok sebagai percakapan kampanye.
Moral exemplar yang
dibicarakan lebih sering tertuju pada sosok yang bukan kita ketimbang siapa
kita. Penjahat HAM, pendukung Islam garis keras, dan pendukung kerusakan
lingkungan disematkan kepada tiap-tiap capres dengan harapan menjelaskan nilai
apa yang dipilih. Sering kali model strategi ini adalah cara mengalihkan
kelemahan-kelemahan dan persoalan-persoalan calon yang dipilih.
PERTARUHAN
NILAI, TRANSAKSI POLITIK, DAN MASA DEPAN WARGA
Konsekuensi dari pertarungan
nilai yang telah dimobilisasi oleh capres dan mesin politiknya di 2019 telah
menyisakan luka sosial yang tidak ringan.
Meskipun di tingkat elite
politik, nilai kompromi, harmoni, dan persatuan memandu konsensus politik yang
ditampilkan di publik saat pengumuman pemenang Pilpres 2019, sendi-sendi
pertalian sosial warga masih menyisakan konflik batin antarwarga.
Kerukunan para elite tidak
pernah sepenuhnya menyelesaikan luka sosial di tingkat akar rumput. Pilihan
bergabungnya Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pada 2019 menunjukkan,
harmoni bagi elite politik adalah nilai yang mereka pegang. Hal itu hanya
melanjutkan politik dagang sapi dengan elite politik berbagi konsesi kekuasaan
dalam struktur pemerintahan. Diamnya warga dan sebagian besar masyarakat yang
merasa dikhianati atas pilihan politik nilainya adalah kemenangan nilai yang
ditampilkan oleh elite politik.
Apakah hal serupa akan
terjadi lagi? Ke manakah arah itu di 2024? Sudah saatnya kita semua sebagai
kelompok membangun mandat untuk orang yang mengusung nilai yang bisa menjawab
krisis demokrasi dan keadilan yang dirasakan dari tingkat elite hingga kelompok
rentan.
Meski kita tahu para capres
tetap selalu tersandera oleh elite partai dan mesin kekuasaannya, sudah saatnya
kekuatan warga sebagai pemberi mandat mengawal terus-menerus nilai di tengah
kampanye, ketika pemilihan berlangsung, dan sesudah pemenang ditentukan pada 20
Oktober nanti. Kita sudah belajar politik pencitraan orang baik tidak selalu
melahirkan legislasi dan kebijakan yang baik pada warga. Di titik-titik
tersebutlah nilai kita pertaruhkan. (gar/piet)
Imam
Ardhianto, adalah Pengajar Departemen Antropologi FISIP UI;
Pegiat Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI)
Sumber : Kompas.Id
Editor: SRI HARTATI SAMHADI,
YOHANES KRISNAWAN